Sabtu, 09 Mei 2009

Sebuah Meja Kayu




Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu,
tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini
begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara
berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama diruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun
ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun,
membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke
bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua
ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan
semuanya untuk pak tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja
kecil di sudut ruangan.

Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap
makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk
kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka,
terdengar isak sedih dari sudut ruangan.Adaairmata yang tampak mengalir dari gurat
keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak
menjatuhkan makanan lagi.

Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam,
sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan
kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya
menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku
besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan."
Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban itu membuat kedua
orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu,
airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang
terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja
makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang
tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja
utama.

Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati,
telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna
setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita
memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh
mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap
"bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.
Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan
kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa
berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
Terima kasih telah membaca. .