Minggu, 06 September 2009

Saat-Saat Menjelang Ajal Menjemput


Berikut ini beberapa kisah orang-orang shalih ketika ajal menjemput mereka:

1. Abu Sufyan bin al-HâritsBeliau adalah anak paman Nabi SAW., (sepupu beliau SAW.,). Tatkala ajal menjemputnya, dia berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian menangisiku sebab aku tidak pernah sekalipun menyentuh dosa semenjak masuk Islam.”

2. ‘Umar bin Abi Rabi’ahTatkala ajal menjemputnya, saudaranya, al-Hârits menangis, lalu dia berkata kepada saudaranya tersebut, “Wahai saudaraku, jika yang kau permasalahkan terhadap diriku adalah untaian sya’ir yang pernah kau dengar dari ucapanku berbunyi, Aku katakan kepadanya (wanita) dan dia berkata kepadaku,Semua budakku adalah bebas Sungguh! Aku tidak pernah menyingkap sekalipun jua sesuatu yang haram.” Maka berkatalah al-Hârits, ‘Segala puji bagi Allah, Engkau telah membuat hatiku tenang.’”

3. Abu Yûsuf Bisyr al-Walîd berkata, “Aku pernah mendengar Abu Yusuf berkata pada saat sakit yang membawa ajalnya, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun menyentuh farji (melakukan hubungan badan) secara haram saat aku menyadarinya. Dan aku juga tidak pernah sekalipun memakai satu dirham dari yang haram saat aku menyadarinya.”

4. Abu Bakar bin ‘AyyasyIbrahim bin Abu Bakar ‘Ayyasy berkata, “Ketika menjelang ajal, aku menyaksikan ayahandaku, lalu aku menangis karenanya. Maka dia berkata kepadaku, ‘Nak, Ayahandamu ini tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan keji.’ “

5. Hafsh bin Ghayyâts ‘Umar bin Hafsh bin Ghayyâts berkata, “Tatkala ajal menjemput ayahandaku, dia sempat pingsan, lalu aku menangis di samping kepalanya. Maka, dia berkata kepadaku saat tersadar, ‘Kenapa gerangan kamu menangis?.’ Aku menjawab, ‘Karena akan berpisah denganmu.’ Dan tatkala aku masuk pada pembicaraan seputar qadla (kematian), dia berkata, ‘Janganlah kamu menangis, sesungguhnya aku tidak pernah sekalipun menggunakan celanaku ini untuk sesuatu yang haram. Dan tidak pernah pula ada dua orang yang bersengketa di hadapanku duduk, lalu aku telanjangi (permalukan) salah seorang dari mereka yang terkena vonis.”

6. al-Haytsam bin Jamil Sufyan bin Ahmad al-Mashîshy berkata, “Tatkala sedang sekarat, aku menyaksikan al-Haytsam bin Jamil telah diarahkan ke kiblat dan budak wanitanya menutupi kedua kakinya, lalu dia sempat berkata, ‘Tutuplah keduanya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui bahwa keduanya tidak pernah sekalipun berjalan untuk hal-hal yang haram.”

(SUMBER: al-Maw’id:Jannât an-Na’îm karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hâzimy, hal.82)

Ayat Kursi Menjelang Tidur

Abu Hurairah r.a. pernah ditugaskan oleh Rasulullah S.A.W untuk menjaga gudang zakat di bulan Ramadhan. Tiba-tiba muncullah seseorang, lalu mencuri segenggam makanan. Namun kepintaran Hurairah memang patut dipuji, kemudian pencuri itu kemudian berhasil ditangkapnya."Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," gertak Abu Hurairah.Bukan main takutnya pencuri itu mendengar ancaman Abu Hurairah, hingga kemudian ia pun merengek-rengek : "Saya ini orang miskin, keluarga tanggungan saya banyak, sementara saya sangat memerlukan makanan."Maka pencuri itu pun dilepaskan. Bukankah zakat itu pada akhirnya akan diberikan kepada fakir miskin? Hanya saja, cara memang keliru. Mestinya jangan keliru.Keesokan harinya, Abu Hurairah melaporkan kepada Rasulullah S.A.W. Maka bertanyalah beliau : "Apa yang dilakukan kepada tawananmu semalam, ya Abu Hurairah?"Ia mengeluh, "Ya Rasulullah, bahwa ia orang miskin, keluarganya banyak dan sangat memerlukan makanan," jawab Abu Hurairah. Lalu diterangkan pula olehnya, bahwa ia kasihan kepada pencuri itu, lalu dilepaskannya."Bohong dia," kata Nabi : "Pada hala nanti malam ia akan datang lagi."Kerana Rasulullah S.A.W berkata begitu, maka penjagaannya diperketat, dan kewaspadaan pun ditingkatkan. Dan benar juga, pencuri itu kembali lagi, lalu mengambil makanan seperti kemarin. Dan kali ini ia pun tertangkap."Akan aku adukan kamu kepada Rasulullah S.A.W," ancam Abu Hurairah, sama seperti kemarin. Dan pencuri itu pun sekali lagi meminta ampun "Saya orang miskin, keluarga saya banyak. Saya berjanji esok tidak akan kembali lagi."Kasihan juga rupanya Abu Hurairah mendengar keluhan orang itu, dan kali ini pun ia kembali dilepaskan. Pada paginya, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah S.A.W, dan beliau pun bertanya seperti kelmarin. Dan setelah mendapat jawapan yang sama, sekali lagi Rasulullah menegaskan : "Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali lagi."Malam itu Abu Hurairah berjaga-jaga dengan kewaspadaan dan kepintaran penuh. Mata, telinga dan perasaannya dipasang baik-baik. Diperhatikannya dengan teliti setiap gerak-geri disekelilingnya sudah dua kali ia dibohongi oleh pencuri. Jika pencuri itu benar-benar datang seperti diperkatakan oleh Rasulullah dan ia berhasil menangkapnya, ia telah bertekad tidak akan melepaskannya sekali lagi. Hatinya sudah tidak sabar lagi menunggu-nunggu datangnya pencuri jahanam itu. Ia kesal. Kenapa pencuri kemarin itu dilepaskan begitu saja sebelum diseret ke hadapan Rasulullah S.A.W ? Kenapa mahu saja ia ditipu olehnya ? "Awas!" katanya dalam hati. "Kali ini tidak akan kuberikan ampun."Malam semakin larut, jalanan sudah sepi, ketika tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang datang menghampiri longgokan makanan yang dia jaga. "Nah, benar juga, ia datang lagi," katanya dalam hati. Dan tidak lama kemudian pencuri itu telah bertekuk lutut di hadapannya dengan wajah ketakutan. Diperhatikannya benar-benar wajah pencuri itu. Ada semacam kepura-puraan pada gerak-geriknya."Kali ini kau pastinya kuadukan kepada Rasulullah. Sudah dua kali kau berjanji tidak akan datang lagi ke mari, tapi ternyata kau kembali juga. "Lepaskan saya" pencuri itu memohon. Tapi, dari tangan Abu Hurairah yang menggenggam erat-erat dapat difahami, bahwa kali ini ia tidak akan dilepaskan lagi. Maka dengan rasa putus asa ahirnya pencuri itu berkata : "Lepaskan saya, akan saya ajari tuan beberapa kalimat yang sangat berguna.""Kalimat-kalimat apakah itu?" Tanya Abu Hurairah dengan rasa ingin tahu. "Bila tuan hendak tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu….. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Maka tuan akan selalu dipelihara oleh Allah, dan tidak akan ada syaitan yang berani mendekati tuan sampai pagi."Maka pencuri itu pun dilepaskan oleh Abu Hurairah. Agaknya naluri keilmuannya lebih menguasai jiwanya sebagai penjaga gudang.Dan keesokan harinya, ia kembali menghadap Rasulullah S.A.W untuk melaporkan pengalamannya yang luar biasa tadi malam. Ada seorang pencuri yang mengajarinya kegunaan ayat Kursi."Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?" tanya Rasul sebelum Abu Hurairah sempat menceritakan segalanya."Ia mengajariku beberapa kalimat yang katanya sangat berguna, lalu ia saya lepaskan," jawab Abu Hurairah."Kalimat apakah itu?" tanya Nabi.Katanya "Kalau kamu tidur, bacalah ayat Kursi : Allaahu laa Ilaaha illaa Huwal-Hayyul Qayyuuumu….. Dan seterusnya sampai akhir ayat. Jika engkau membaca itu, maka engkau akan selalu dijaga oleh Allah, dan tidak akan didekati syaitan hingga pagi hari."Menanggapi cerita Abu Hurairah, Nabi S.A.W berkata, "Pencuri itu telah berkata benar, sekalipun sebenarnya ia tetap pendusta." Kemudian Nabi S.A.W bertanya pula : "Tahukah kamu, siapa sebenarnya pencuri yang ertemu denganmu tiap malam itu?""Entahlah." Jawab Abu Hurairah."Itulah syaitan."

Selasa, 26 Mei 2009

Kisah Biola dan Segala Sesuatu Yang Tak Dapat Diubah iccolo Paganini.

Seorang pemain biola yang terkenal di abad 19, memainkan konser ntuk para pemujanya yang memenuhi ruangan.
Dia bermain biola dengan diiringi orkestra penuh. tiba-tiba salah satu senar biolanya putus.


Keringat dingin mulai membasahi dahinya api dia meneruskan memainkan lagunya. Kejadian yang sangat mengejutkan senar biolanya yang lain pun putus satu persatu hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia tetap bermain.

Ketika para penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap bermain,mereka berdiri dan berteriak, "Hebat, hebat." setelah tepuk tangan riuh memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk duduk. Mereka menyadari tidak mungkin dia dapat bermain dengan satu senar.

Paganini memberi hormat pada para penonton dan memberi isyarat pada dirigen orkestra untuk meneruskan bagian akhir dari lagunya itu. Dengan mata berbinar dia berteriak, Peganini dengan satu senar." Dia menaruh biolanya di dagunya dan memulai memainkan bagian akhir dari lagunya tersebut dengan indahnya.
Penonton sangat erkejut dan kagum pada kejadian ini.

MAKNA: Hidup kita dipenuhi oleh persoalan, kekuatiran, kekecewaan dan semua hal yang tidak baik. Secara jujur, kita seringkali mencurahkan terlalu banyak waktu mengkonsentrasikan pada senar kita yang putus dan segala sesuatu yang kita tidak dapat ubah.

Apakah anda masih memikirkan senar-senar Anda yang putus dalam hidup Anda? Apakah senar terakhir nadanya tidak indah lagi? Jika demikian, saya ingin menganjurkan jangan melihat ke belakang, majulah terus, mainkan senar satu-satunya itu. Mungkinkanlah itu dengan indahnya. Tuhan akan menolong Anda.

Jumat, 22 Mei 2009

Bintang Laut


Ketika fajar menyingsing, seorang lelaki tua berjalan-jalan di pinggir pantai sambil menikmati angin laut yang segar menerpa bibir pantai. Di kejauhan dilihatnya seorang anak sedang memungut bintang laut dan melemparkannya kembali ke dalam air.


Setelah mendekati anak itu, lelaki tua itu bertanya heran; 'Mengapa engkau mengumpulkan dan melemparkan kembali bintang laut itu ke dalam air?'. Tanyanya.


'Karena bila dibiarkan hingga matahari pagi datang menyengat, bintang laut yang terdampar itu akan segera mati kekeringan.' Jawab si kecil itu.


'Tapi pantai ini luas dan bermil-mil panjangnya.' Kata lelaki tua itu sambil menunjukkan jarinya yang mulai keriput ke arah pantai pasir yang luas itu.


'Lagi pula ada jutaan bintang laut yang terdampar. Aku ragu apakah usahamu itu sungguh mempunyai arti yang besar.' Lanjutnya penuh ragu.


Anak itu lama memandang bintang laut yang ada di tangannya tanpa berkata sepatahpun. Lalu dengan perlahan ia melemparkannya ke dalam laut agar selamat dan hidup.

'Saya yakin usahaku sungguh memiliki arti yang besar sekurang-kurangnya bagi yang satu ini.' Kata si kecil itu. -------------


Kita sering mendambakan untuk melakukan sesuatu yang besar, namun sering kali kita lupa bahwa yang besar itu sering dimulai dengan sesuatu yang kecil.

Sabtu, 16 Mei 2009

Air Mendidih




Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan
mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana
menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya
setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan
menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh
wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di
panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata . Si anak membungkam
dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.
Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di
mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan
menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi"
jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel
itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu
memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia
mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk
mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?" Ayahnya menerangkan bahwa
ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing
menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus,
wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa
cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air,
bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya.
"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu
wortel, telur atau kopi?"
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi
dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan
kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang
dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan
menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit
dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang
menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat
Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu
seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi
semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik..

Sabtu, 09 Mei 2009

Sebuah Meja Kayu




Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu,
tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini
begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara
berjalannya pun ringkih.

Keluarga itu biasa makan bersama diruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun
ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun,
membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke
bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua
ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan
semuanya untuk pak tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja
kecil di sudut ruangan.

Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap
makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk
kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka,
terdengar isak sedih dari sudut ruangan.Adaairmata yang tampak mengalir dari gurat
keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak
menjatuhkan makanan lagi.

Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam,
sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan
kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya
menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku
besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan."
Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban itu membuat kedua
orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu,
airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang
terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja
makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang
tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja
utama.

Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati,
telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna
setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita
memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh
mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap
"bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.
Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan
kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa
berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
Terima kasih telah membaca. .

1001 Burung Kertas





Reo dan July adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari
keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga July berasal dari keluarga
kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Reo hanyalah keluarga seorang
petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.


Dalam kehidupan mereka berdua, Reo sangat mencintai July. Reo telah melipat 1000
buah burung kertas untuk July dan July kemudian menggantungkan burung-burung
kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Reo telah
menuliskan harapannya kepada July. Banyak sekali harapan yang telah Reo ungkapkan
kepada July. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan
melindungi July dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang
bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang
diberikan kepada July.


Suatu hari Reo melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan
kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas
yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Reo berkata kepada July: “ July, ini
burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya
kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan
kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek
nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “
Saat mendengar Reo berkata demikian, menangislah July. Ia berkata kepada Reo : “
Reo, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan
untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata
orang tuaku!” Saat mendengar itu Reo pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai
marah kepada July. Ia mengatai July matre, orang tak berperasaan, kejam, dan
sebagainya. Akhirnya Reo meninggalkan July menangis seorang diri.


Reo mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses
dan hidup berhasil. Sikap July dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam
Sebulan usaha Reo menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana
ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan
yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu.
Sekarang tak seorangpun tak kenal Reo, ia adalah bintang kesuksesan.


Suatu hari Reo pun berkelilingkotadengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang
suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh
dan tidak terawat. Reo pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya
dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua July. Reo mulai berpikir untuk
memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat
kuat. Reo membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua July.


Reo sangat terkejut ketika didapati orang tua July memasuki sebuah makam yang
dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto July
dalam makam itu. Reo pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam
July untuk menemui orang tua July.


Orang tua July pun berkata kepada Reo :”Reo, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami
habis untuk biaya pengobatan July yang terkena kanker rahim ganas. July menitipkan
sebuahsuratkepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.”
Orang tua July menyerahkan sepucuksuratkumal kepada Reo.


Reo membacasuratitu. “Reo, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena
kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal
ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan
sentimentil yang penuh keputusasaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran.
Aku tahu semua tabiatmu Reo, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu
Reo................................
July “ Setelah membacasuratitu, menangislah Reo. Ia telah berprasangka terhadap
July begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan betapa hati July teriris-iris ketika ia
mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa
July kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa
July mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih
memilih untuk menganggap July sebagai orang matre tak berperasan.July telah
berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.


Cinta bukanlah sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk
orang yang sangat berarti bagi kita. .